Alat Musik Tradisional Nusa Tenggara Timur – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki warisan budaya yang sangat kaya, salah satunya ditandai dengan keberadaan alat musik tradisional. Alat musik dari NTT merupakan manifestasi budaya masyarakat setempat yang terus berkembang seiring berjalannya waktu dan semakin dikenal baik di tingkat nasional maupun internasional.
Alat Musik Tradisional Nusa Tenggara Timur
throughtheeyesofthedead – Di bawah ini, kami akan menjelaskan delapan alat musik tradisional Nusa Tenggara Timur, yang masing-masing memiliki keeksotisan, nilai magis, dan keunikan tersendiri, menjadikan NTT kaya akan keragaman budaya.
1. Sasando
Sasando adalah salah satu alat musik daerah NTT yang paling terkenal, baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Alat musik ini tergolong sebagai alat musik petik yang dimainkan dengan cara dipetik menggunakan kedua tangan, mirip dengan harpa. Sasando memiliki jumlah senar yang bervariasi, antara 28 hingga 58, dan terbuat dari bambu sebagai media resonansi, dikelilingi oleh bantalan kayu yang berfungsi untuk memegang atau menahan senar.
2. Heo
Heo merupakan alat musik petik tradisional yang berasal dari daratan Pulau Timor, khususnya dari komunitas Suku Dawan di Nusa Tenggara Timur. Meskipun terbuat dari kayu, alat penggeseknya menggunakan ekor kuda yang dirangkai sedemikian rupa sehingga membentuk busur. Heo memiliki empat senar yang masing-masing dinamai sesuai dengan nada yang dihasilkan:
– Dawai 1 (paling bawah): tain mone, berarti “tali laki-laki”, bernada “sol”
– Dawai 2: tain apa, berarti “tali anak” (kecil), bernada “re”
– Dawai 3: tain feto, berarti “tali perempuan”, bernada “la”
– Dawai 4: tain ena, berarti “tali induk”, bernada “do”
3. Knobe Khabetas
Knobe Khabetas adalah alat musik tiup tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Dawan, berbentuk mirip busur panah dan dilengkapi dengan tali pengikat. Cara memainkan alat musik ini dilakukan dengan cara meniup salah satu ujung busur sambil menggetarkan tali busurnya. Masyarakat Dawan biasanya menggunakan alat ini dalam aktivitas bertani dan menggembala ternak. Knobe Khabetas tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi, tetapi juga sebagai alat dalam berbagai upacara adat.
4. Foy Pay
Foy Pay adalah salah satu alat musik tradisional Nusa Tenggara Timur yang hampir identik dengan alat musik Foy Doa karena keduanya termasuk dalam kategori seruling. Pada awalnya, Foy Pay berfungsi sebagai pengiring lagu tandak, serupa dengan Foy Doa. Namun, seiring perkembangan waktu, Foy Pay sering dipentaskan berpasangan dengan Foy Doa dalam iringan musik tradisional pada berbagai acara adat dan hiburan. Nada-nada yang dihasilkan oleh Foy Pay antara lain adalah do, re, mi, fa, dan sol.
5. Foy Doa
Foy Doa merupakan alat musik tradisional yang termasuk dalam kategori aerofon. Alat musik ini dimainkan dengan cara ditiup, di mana suara dihasilkan melalui hembusan udara. Foy Doa sering dimainkan oleh remaja, baik laki-laki maupun perempuan, dari masyarakat setempat. Lagu-lagu yang dihasilkan umumnya mengandung pesan atau nilai-nilai kehidupan.
6. Knobe Oh
(Deskripsi alat musik tang belum diselesaikan di teks awal akan dilanjutkan apabila dibutuhkan. ) Dengan demikian, alat musik tradisional Nusa Tenggara Timur memperlihatkan kekayaan dan keragaman budaya yang dimiliki daerah ini, mencerminkan identitas serta nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakatnya. Knobe Oh
Baca Juga : Introduction to the Greatest Jazz Moments
Knobe Oh merupakan alat musik tradisional yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Alat musik ini terbuat dari bahan kulit bambu dengan ukuran panjang sekitar 12,5 cm. Pada bagian tengahnya terdapat celah bambu yang dipotong dengan sangat halus, sehingga membentuk struktur menyerupai lidah yang berfungsi sebagai vibrator atau penggetar Knobe Oh. Ketika pangkal ujungnya ditarik menggunakan untaian tali, alat ini mampu menghasilkan suara yang bergema melalui rongga mulut.
Sowito
Sowito adalah alat musik tradisional yang terdiri dari potongan-potongan bambu dengan kulit yang dicungkil sepanjang 2 cm, yang kemudian disanggah oleh batangan kayu kecil. Cungkilan pada kulit bambu berfungsi sebagai dawai.
Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan tongkat atau sebatang kayu berukuran seukuran jari, dengan panjang kurang dari 30 cm. Setiap ruas bambu menghasilkan satu nada musik. Dalam seni musik tradisional, alat ini dapat dibuat dalam beberapa bagian sesuai dengan kebutuhan komposisi.
Prere
Prere adalah alat musik tradisional yang juga berasal dari Nusa Tenggara Timur. Alat musik ini mampu menghasilkan nada dasar seperti do dan re. Bentuk Prere mirip dengan sepotong bambu kecil berukuran pensil dan panjang sekitar 15 cm. Bagian bawah bambu dibiarkan tertutup, sedangkan bagian atasnya dibelah dan dibuka untuk dijadikan tempat tiup.
Belahan pada ruas bambu bagian bawah dilakukan untuk memungkinkan udara keluar dari tabung bambu bagian atas. Selain itu, belahan pada bagian bawah bambu berfungsi untuk membungkus atau melilitkan daun pandan, sehingga menyerupai corong pada terompet, yang berperan dalam meningkatkan volume suara yang dihasilkan.
Jenis alat musik ini biasanya dimainkan untuk tujuan hiburan. Di samping itu, Prere sering dimainkan bersamaan dengan gong gendang sebagai instrumen pengiring dalam permainan pencak silat, yang merupakan salah satu permainan khas dari Nusa Tenggara Timur.
Memperkenalkan ‘Sasando’: Alat Musik Tradisional dari Nusa Tenggara Timur yang Pernah Diusulkan untuk Mendapatkan Penghargaan UNESCO
Alat musik tradisional Sasando yang berasal dari Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, pernah diusulkan untuk mendapatkan penghargaan pelestarian budaya dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-42 yang berlangsung dari 9 hingga 11 Mei 2023 di Labuan Bajo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, berbagai kebudayaan khas NTT diperkenalkan kepada para pemimpin negara ASEAN.
Mengacu pada informasi yang berasal dari kemenparekraf. go. id pada hari Sabtu, 2 September 2023, busana, tarian, dan alat musik NTT berhasil mengejutkan para pemimpin ASEAN. Salah satu tradisi yang dipamerkan dalam KTT ASEAN ke-42 adalah alat musik khas NTT, yaitu Sasando. Alat musik tradisional ini berasal dari Pulau Rote dan memiliki desain yang unik, menyerupai daun lontar yang dipilin dan berbentuk setengah lingkaran. Dari segi suara, pohon palem yang digunakan dalam pembuatan Sasando menghasilkan bunyi yang khas dan tidak ditemukan pada alat musik lainnya. Senar Sasando menghasilkan nada yang indah, romantis, dan unik. Oleh karena itu, penampilan, properti, dan musik Sasando yang khas berhasil menarik perhatian di KTT ASEAN ke-42.
Baca Juga : Aplikasi Streaming Musik Online Dengan Fitur Menarik
Sebelum pertemuan ASEAN tersebut, Sasando telah melakukan tur ke berbagai belahan dunia, termasuk ke salah satu acara sampingan G20 di Labuan Bajo pada tahun 2022. Dalam acara yang melibatkan 19 anggota G20 ini, terdapat 6 negara dan 9 organisasi internasional yang berpartisipasi. Sasando juga digunakan dalam momen istimewa saat Ibu Iriana Joko Widodo memberikan penghormatan kepada Ibu Negara Tiongkok, Ibu Peng Liyuan.
Kepopuleran Sasando di kancah dunia belakangan ini tidak terlepas dari peran Djitron Pah, yang memperkenalkan instrumen ini kepada dunia melalui program Asia’s Got Talent pada tahun 2015. Melalui platform tersebut, Djitron Pah berhasil mengangkat nama Sasando hingga mendunia melalui tur di Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Belanda, Italia, Finlandia, Jerman, dan Taiwan.
Jenis-Jenis Sasando
Melihat dari berbagai aspek, sangatlah layak jika Sasando diakui secara global. Namun, saat menyelami lebih dalam mengenai Sasando khas NTT, terdapat berbagai jenis alat musik ini. Setidaknya, terdapat tiga jenis Sasando yang populer, yaitu Sasando Gong, Sasando Biola, dan Sasando Elektrik.
Pertama, Sasando Gong adalah varian khas Pulau Rote yang merupakan bentuk autentik dengan 12 dawai yang terbuat dari tali senar nilon. Ketika dimainkan, Sasando Gong menghasilkan suara yang lembut dan merdu, dan sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional masyarakat Rote.
Kedua, Sasando Biola, yang diyakini mulai berkembang di Kupang pada akhir abad ke-18, merupakan hasil modifikasi dari Edu Pah, seorang ahli pemain Sasando. Berbeda dari Sasando Gong, Sasando Biola memiliki ukuran yang lebih besar dan dilengkapi dengan 48 dawai. Dimodifikasi agar menyerupai biola, Sasando Biola mampu menghasilkan suara yang halus dan merdu, umumnya digunakan untuk mengiringi lagu dalam tarian tradisional masyarakat NTT.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, saat ini terdapat jenis Sasando Elektrik. Alat musik ini pertama kali diciptakan oleh Arnoldus Edon pada tahun 1960-an, dengan tujuan agar suara yang dihasilkan dapat didengar dari jarak yang lebih jauh, mengingat Sasando tradisional hanya dapat dinikmati dalam jarak dekat. Umumnya, Sasando Elektrik terdiri dari 30 dawai, sementara bagian tubuhnya tetap menggunakan daun lontar untuk mempertahankan bentuk aslinya. Perbedaan pada Sasando Elektrik terletak pada spul atau transduser yang mengubah getaran dawai menjadi energi listrik, yang selanjutnya diteruskan ke amplifier untuk menghasilkan suara yang lebih kuat.